Soal Isu Lahan Kritis, Ini Penjelasan Dishut Kalteng

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng, Agustan Saining

BALANGANEWS, PALANGKA RAYA – Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) akhirnya memberikan klarifikasi terkait pemberitaan luas lahan kritis yang disebut mencapai 811 ribu hektare.

Sebelumnya, sempat beredar informasi bahwa pihak dinas enggan menanggapi isu ini. Namun, mereka menegaskan bahwa tugas dan tanggung jawab mereka tetap berjalan sesuai regulasi yang berlaku.

Kepala Dinas Kehutanan Kalteng, Agustan Saining, melalui Kepala Bidang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Ansar, menegaskan bahwa penetapan status lahan kritis bukan kewenangan mereka, melainkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Kami tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan suatu area sebagai lahan kritis. Hal ini sepenuhnya menjadi tugas KLHK berdasarkan kajian ilmiah dan metodologi nasional yang telah ditetapkan,” ujar Ansar, Jumat (7/3/2025).

Berdasarkan Peta Lahan Kritis terbaru yang dirilis KLHK pada 27 Desember 2022, dari total 15,3 juta hektare luas lahan di Kalteng, sekitar 818 ribu hektare dikategorikan sebagai lahan kritis.

Dari jumlah itu, 92,16 persen berada di dalam kawasan hutan, sementara 7,84 persen berada di luar kawasan hutan atau Areal Penggunaan Lain (APL), yang mencakup perumahan, perkebunan, dan pemukiman.

Ansar menjelaskan bahwa alih fungsi lahan, pembukaan lahan untuk pertanian dan industri, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi penyebab utama meningkatnya lahan kritis di Kalteng.

Untuk mengatasi hal ini, Dinas Kehutanan bersama KLHK telah mengambil sejumlah langkah, di antaranya, mewajibkan perusahaan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan untuk melakukan rehabilitasi dengan skema 1:1, yaitu merehabilitasi lahan kritis seluas yang mereka gunakan.

Selanjutnya, membangun Persemaian Permanen di Jl. Hiu Putih untuk menyediakan bibit produktif bagi Masyarakat, melakukan penghijauan berbasis permohonan pemilik lahan, dengan syarat lahan tersebut tidak dialihfungsikan selama minimal 15 tahun.

Serta mengembangkan sumber benih unggul, seperti meranti di Katingan dan ulin di Murung Raya, guna mempercepat rehabilitasi lahan.

Meski berbagai upaya telah dilakukan, rehabilitasi lahan kritis di luar kawasan hutan masih menghadapi tantangan, terutama terkait kepemilikan lahan. Dinas Kehutanan tidak bisa serta-merta melakukan penghijauan tanpa izin dari pemilik lahan.

“Kami tidak bisa sembarangan masuk ke lahan milik pribadi tanpa persetujuan pemiliknya. Karena itu, kami menggunakan pendekatan berbasis permohonan agar penghijauan bisa berjalan dengan baik dan berkelanjutan,” jelas Ansar.

Selain itu, sebagian besar pemilik lahan lebih memilih menanam komoditas bernilai ekonomi tinggi, seperti kelapa sawit, dibandingkan tanaman kehutanan yang membutuhkan waktu lebih lama untuk tumbuh.

“Kami memahami bahwa masyarakat tentu ingin memperoleh manfaat ekonomi dari lahannya. Namun, kami juga terus mengedukasi agar penghijauan tidak hanya dilakukan demi lingkungan, tetapi juga bisa memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat itu sendiri,” tambahnya.

Dinas Kehutanan menegaskan bahwa mereka tetap bekerja sesuai kewenangan dan tidak pernah menutup diri terhadap diskusi terkait isu lahan kritis.

Mereka juga mengajak masyarakat dan perusahaan untuk bersama-sama menjaga kelestarian lingkungan.

“Kami selalu terbuka untuk berkoordinasi dengan semua pihak. Penyelesaian masalah lahan kritis ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga memerlukan partisipasi aktif dari masyarakat dan dunia usaha,” pungkas Ansar. (asp)