BALANGANEWS, SERUYAN – Perluasan perkebunan sawit di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, membawa perubahan sosial yang signifikan bagi masyarakat di Desa Parang Batang, Paring Raya, Sembuluh I, dan Sembuluh II.
Hasil survei Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) menunjukkan bahwa masyarakat yang dulunya mengandalkan hutan dan danau untuk bertani serta berdagang kini mengalami keterbatasan akses terhadap sumber daya alam.
Project Officer YMKL untuk Kalimantan, Djayu Sukma Ifantara, menyebutkan bahwa survei yang dilakukan pada Oktober-November 2024 ini mengungkap bahwa masuknya investasi perkebunan sawit telah mengubah pola pekerjaan masyarakat.
Banyak yang beralih dari petani tradisional menjadi buruh harian di perkebunan sawit dengan penghasilan yang terbatas.
“Mayoritas masyarakat desa kini bekerja sebagai buruh harian di perkebunan sawit dengan penghasilan terbatas, yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak adanya transparansi pada manajemen perusahaan untuk berkonsultasi mengenai kondisi bekerja,” ungkapnya, Jumat (31/1/2025).
Djayu menambahkan dampak lain dari dominasi perkebunan sawit adalah hilangnya keterampilan bertani secara turun-temurun.
Masyarakat tidak lagi memiliki kesempatan untuk mengelola lahan sendiri karena sistem plasma yang sepenuhnya bergantung pada perusahaan.
Kondisi ini menyebabkan deskilling, di mana generasi muda tidak lagi memiliki keterampilan mengelola lahan secara mandiri. Akibatnya, mereka semakin bergantung pada pekerjaan sebagai buruh perkebunan tanpa memiliki alternatif mata pencaharian lain.
“Kehilangan akses lahan membuat mereka kesulitan mencari pekerjaan sampingan, sementara sistem kerja yang tidak transparan dan ketergantungan terhadap utang yang memperburuk kondisi ekonomi mereka,” jelas Djayu.
Selain kehilangan keterampilan, masyarakat juga menghadapi berkurangnya diversifikasi pekerjaan. Dahulu, lanjutnya, masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidup dengan memanfaatkan hasil hutan dan kebun.
Namun, dengan perluasan perkebunan sawit, akses ke lahan menjadi terbatas sehingga mereka sulit mencari pekerjaan sampingan.
“Hilangnya akses untuk mengelolatanah akibat perluasan perkebunan sawit perusahaan menutup kemungkinan untuk mencari sampingan pekerjaan,” imbuhnya.
Ia membeberkan juga, bahwa hasil survei YMKL menunjukkan bahwa di empat desa tersebut terdapat 14 perusahaan perkebunan sawit yang memiliki izin atas ribuan hektare tanah masyarakat.
Di Desa Paring Raya, dua perusahaan sawit menguasai 41 persen lahan, sementara Desa Parang Batang memiliki tiga perusahaan yang menguasai 49 persen lahan.
Di Desa Sembuluh I, tiga perusahaan sawit beroperasi dengan izin mencapai 71 persen lahan, sedangkan Desa Sembuluh II memiliki enam perusahaan dengan luas lahan yang dikavling mencapai puluhan ribu hektare.
Diakhir, , Djayu Sukma Ifantara, menegaskan bahwa dari survei lapangan yang dilakukan YKML, ditemukan kehadiran sawit menyebabkan masyarakat beralih dari pengelolaan lahan menjadi penerima plasma atau buruh.
“Kemudian mengakibatkan hilangnya keterampilan tradisional dalam berladang dan menyebabkan deskilling serta kekurangan pengetahuan pengelolaan lahan pada generasi sekarang,” pungkasnya. (asp)