Penulis : Sri Wahyuni
BALANGANEWS.COM – Bicara masalah asal usul peradaban, tidak akan terlepas dari sungai maupun lembah sungai. Peradaban besar dunia selalu dikaitkan dengan sungai-sungai besar yang menjadi roh munculnya peradaban tersebut. Ambil saja peradaban lembah sungai Nil di Afrika, Sungai Tigris di Asia Barat dan Tengah, serta sungai Huang Ho di China. Munculnya peradaban besar dunia selalu dipengaruhi oleh adanya sungai. Indonesia pun tidak kalah terkait peradaban sungai. Penemuan penting terhadap peradaban tertua di Indonesia melalui ditemukannya tengkorak manusia pra aksara Phitecantropus Erectus dan Megantropus Paleojavanicus di aliran sungan Bengawan Solo.
Kenyataan bahwa peradaban banyak tumbuh di daerah aliran sungai menunjukkan betapa pentingnya sungai bagi perkembangan hidup manusia. Dengan berkembangnya peradaban maka terbentuklah kebudayaan sesuai dengan wilayah dan kekuatan pengetahuan pada masa nya. Kebudayaan yang muncul pada peradaban yang berkembang di aliran sungai, pastilah berhubungan dengan kebiasaan maupun pembiasaan terhadap pemanfaatan aliran sungai. Seperti bagaimana para petani mengenal budaya menanam padi pasang surut di wilayah China. Hal ini didasari dari pemanfaatan lahan yang subur dan basah pasca banjir yang terjadi saat air pasang. Pun begitu yang terjadi di Kalimantan. Kebudayaan yang di dorong oleh adanya aliran sungai sudah mendarah daging pada masyarakat asli di Kalimantan.
Penamaan suku hingga pada wilayah di Kalimantan biasanya disesuaikan dengan nama-nama sungai yang mengalir melintasi lokasi suku atau wilayah tersebut. Pada masanya, aliran sungai pernah menjadi poros nadi pembangunan di wilayah Kalimantan. Berbagai bentuk angkutan sungai mulai dari perahu kecil yang dikenal dengan Jukung, Getek, dan Kelotok, hingga pada angkutan sungai besar yang deikenal dengan nama Bus Air. Sungai bagi masyarakat Kalimantan sudah menjadi bagian dari hidup. Seolah pada masa itu, masyarakat Kalimantan tidak bisa hidup tanpa dekat dengan sungai. Kampung-kampung banyak berpusat di aliran sungai, sehingga membuat jalan lintas yang pada masa itu masih sukar dilalui terlihat sepi dari rumah penduduk.
Sungai di Kalimantan telah membentuk budayanya sendiri, berpisah dari budaya masyarakat lahan. Kebudayaan sungai yang terbentuk, menjadi lebih harmonis dengan munculnya suku-suku pendatang yang kemudian bertinggal di sekitar bantaran sungai. Masuknya Agama ke wilayah Kalimantan pun tidak terlepas dari keberadaan sungai, terutama untuk agama Islam yang banyak berkembang melalui jalur perdagangan. Sungai selain sebagai sarana transportasi dan perdagangan, juga merupakan sumber penghidupan bagi orang-orang yang bermukim di bantarannya.
Modernisasi kemudian merambah dan merubah segalanya di Kalimantan. Pembangunan jalan-jalan, perluasan perkebunan dan pertambangan turut menghancurkan budaya yang telah berakar dalam masyarakat di Kalimantan. Untuk transportasi manusia dan barang sudah tidak banyak lagi menggunakan angkutan sungai. Orang-orang bepergian melalui jalur darat yang dianggap lebih cepat dan lebih efisien dibandingkan jalur sungai. Perkampungan pun mulai bergeser menuju ke jalan raya. Rumah-rumah yang sebelumnya ada di bantaran sungai mulai menjadi kurang ramai. Kalaupun ada, permukiman di sekitar aliran sungai lebih terlihat kumuh. Utamanya untuk wilayah permukiman daerah aliran sungai yang ada di perkotaan.
Walau begitu, budaya aliran sungai sedikit banyak tetap mengakar pada masyarakat Kalimantan. Budaya yang sudah mengakar seakan tetap mengalir dalam darah masyarakat. Walaupun masyarakat tidak lagi berdiam di wilayah aliran sungai, tapi budaya masyarakat aliran sungai seolah tetap mengakar dan terus mengalir di masyarakat. Kota-kota yang ada di wilayah Kalimantan, tetap besar bersama dengan aliran sungai yang ada. Pabila kita lihat kota seperti Palangka Raya dengan aliran sungai Kahayan yang membelahnya, Pangkalan Bun yang berada di aliran sungai Arut, hingga Samarinda yang berada pada aliran sungai Mahakam. Budaya aliran sungai tidak putus sebenarnya, hanya masyarakatnya saja yang berpindah dan wilayahnya yang menjadi semakin luas.
Budaya aliran sungai tetap berkembang, hanya saja perubahan terjadi karena sungai tidak lagi menjadi pusat kehidupan sosial dan ekonomi. Ini sejalan dengan teori Perubahan Sosial yang dikemukakan oleh Emile Durkheim. Durkheim menjelaskan bahwa perubahan dalam masyarakat sering kali terjadi karena pergeseran dalam struktur sosial dan cara hidup yang mendasar. Modernisasi yang membawa perkembangan infrastruktur dan teknologi, seperti jalan raya, telah mengubah cara masyarakat berinteraksi dengan lingkungan mereka, termasuk aliran sungai yang dulu menjadi pusat kehidupan sosial dan ekonomi.
Selain itu, pendapat Hendri Bergson mengenai Kehidupan Sosial dan Budaya juga dapat diterapkan. Menurut Bergson, budaya adalah bagian dari aliran kehidupan yang tidak bisa terpisahkan dari pengalaman sehari-hari masyarakat. Ketika sungai yang dulunya menjadi sumber kehidupan berubah, budaya masyarakat yang berkaitan dengannya pun akan mengalami pergeseran, meski elemen-elemen budaya tersebut tetap mengakar dalam kehidupan masyarakat. Hal ini tercermin dalam pernyataan bahwa “budaya aliran sungai tidak putus,” meski kehidupan masyarakat mulai beralih ke daratan.
Kedua teori tersebut dapat menjelaskan yang terjadi di Kalimantan. Kita tetap akan melihat masyarakat megisi waktunya dengan mencari ikan menggunakan cara-cara tradisional yang telah diturunkan sejak jaman nenek moyang. Berbagai kepercayaan pun berkembang tetap mengakar di masyarakat seperti larangan-larangan saat bepergian yang melintasi jembatan ataupun sungai dan lain sebagainya. Belum lagi bahasa yang tetap dibawa oleh masyarakat tetap merupakan bahasa asli suku di wilayah aliran sungai yang ada.
Melalui teori yang di sampaikan oleh Durkheim, menjelaskan bahwa perubahan adalah suatu yang biasa sejalan dengan berkembangnya peradaban. Hal ini pastinya berlangsung di berbagai tempat, bukan hanya di Kalimantan. Walaupun masyarakat sudah tinggal di sekitar jalan raya, terlihat bagaimana mereka tetap menggantungkan hidupnya terhadap aliran sungai. Masyarakat perlu mendekat kejalan agar lebih mudah menjajakan hasil tangkapan sungai, karena kini pusat ekonomi sudah berpindah. Kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat yang kemudian mendorong peralihan permukiman tidak lagi di sekitar bantaran sungai.
Walaupun tidak semua masyarakat yang berpindah, utamanya di wilayah-wilayah yang jalan menuju tepian sungai mudah di jangkau. Masyarakat di wilayah ini tetap berdiam di bantaran sungai dan tetap menjaga budaya mereka. Kebutuhan akan transportasi yang lebih mudah dan cepat pun mendorong tergerusnya transportasi sungai. Tapi hingga kini dengan luasnya wilayah dan masih ada desa-desa yang belum terjangkau pembangunan jalan, tetap ada angkutan sungai yang beroperasi walau tidak sebanyak dahulu. Modernisasi menjadikan aliran sungai bukan lagi menjadi pusat ekonomi tapi masyarakat tetap memanfaatkan sungai dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kebudayaan sungai tetap ada dan lestari walaupun terjadi pergeseran letak tempat tinggal masyarakat. Tapi persgesaran tersebut tidak benar-benar meninggalkan sungai, hanya saja lebih meluas mengisi daratan di sekitar aliran sungai. Seperti contoh di kota Palangka Raya dimana pusat kota tetap berada di sekitar aliran sungai Kahayan. Pergeseran dan akulturasi budaya yang masuk pun tidak serta merta menghilangkan kebudayaan yang telah mengakar sejak dahulu, seperti yang disampaikan oleh Bergson dalam teorinya Kehidupan Sosial Budaya. Budaya aliran sungai tetap mengakar dalam massyarakat dan berusaha dilestarikan agar tetap lestari.
Hanya saja dengan adanya pergeseran dimana sungai tidak lagi menjadi pusat perekonomian, didorong oleh kapitalisme yang di usung oleh modernisasi. Kini sungai malah menjadi objek pemenuh nafsu duniawi akan kekayaan dan kemakmuran. Sungai di ekspoitasi sehingga menjadikan air nya tercemar. Sungai di Kalimantan bahkan termasuk dalam salah satu sungai dengan tingkat pencemaran merkuri yang berada di atas ambang batas normal. Dari data yang diperoleh diketahui kandungan merkuri pada Sungai Kahayan berkisar antara 0,0225 – 0,2350 mg/l, nilai ini lebih tinggi dari ambang batas yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2021 kelas 3 yaitu 0,002 mg/l. Dengan kata lain pergeseran kebudayaan sungai juga menggeser budaya pelestarian sungai yang ada.
Dalam suku Dayak misalnya pada masa lalu budaya menangkap ikan Suku Dayak di Sungai Kahayan, khususnya tradisi Ngaruhi, merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat Dayak. Ngaruhi, yang berarti mencari ikan di sungai kecil terutama saat kemarau, merupakan tradisi yang dijalankan secara tradisional dan penuh makna. Selain Ngaruhi, ada juga teknik lain seperti penggunaan Mihing, alat penangkap ikan tradisional yang magis, yang dulunya populer di Sungai Kahayan. Budaya ini dilakukan dalam rangka menjaga ekosistem sungai tetap terjaga. Selain menangkap ikan pada dasarnya mendulang emas juga sudah lama dilakukan oleh suku Dayak di Kalimantan. Apalagi pada masa kolonial, dimana emas menjadi bagian dari tujuan utama penjajah yang datang ke pulau Kalimantan.
Akan tetapi pada masa itu budaya mendulang emas masih dilakukan secara tradisional. Kini mesin-mesin mengapung diatas lanting-lanting di aliran sungai. Suara mesin menggantikan suara bekantan yang bersahutan dan endapan sedimen nya menjadikan sungai semakin surut. Saat masyarakatnya berusaha mempertahankan budaya aliran sungai yang ada, tapi nilai-nilai luhur budaya tetap tergerus. Terlihat jelas bagaimana masyarakat tidak lagi menghargai alam, utamanya terhadap sungai. Budaya yang kini muncul bukannya budaya aliran sungai lagi melainkan budaya eksploitasi sungai. Memang sangat disayangkan tatkala keinginan mempertahankan akar budaya masyarakat aliran sungai malah dikotori dengan keinginan sebagian lainnya untuk melakukan eksploitasi sumber daya yang ada di sungai.
Sungai selalu menjadi daya tarik tersendiri di setiap wilayah, tidak terkecuali di Kalimantan. Sebagai wilayah dengan banyak sungai-sungai besar sungai memang seharusnya menjadi bagian dari urat nadi pembangunan wilayah-wilayah di Kalimantan. Sungai perlu dijaga dan dirawat agar nantinya terus dapat memberikan manfaat bagi generasi penerus. Perkembangan teknologi dan perubahan budaya yang tidak lagi menjadikan sungai sebagai wilayah tinggal dan mulai meninggalkan kearifan lokal terhadap penjagaan sungai, ternyata membawa dampak besar terhadap perubahan sistem terkait perlakuan manusia terhadap sungai. Seperti yang disampaikan sebelumnya sungai kini mulai di eksploitasi, baik sumberdaya hayati nya maupun non hayati.
Untuk itu perlu ada peran pemerintah dalam melakukan penertiban. Pemerintah sudah hadir dalam rangka pelestarian budaya yang ada di sekitar aliran sungai. Tapi kini pemerintah pun perlu hadir dalam rangka menjaga sungai sebagai bagian dari warisan peradaban. Pemerintah harus membuat aturan yang tegas terkait eksplotasi yang dilakukan masyarakat. Pemerintah harus bisa menjaga sungai sebagai sumber dari budaya yang dilestarikan tetap juga hadir dan dapat dilihat secara fisik. Memang hasil kebudayaannya diusahakan tetap lestari, tapi pabila fisik sungainya nanti akan hilang dimana kita akan mengambil sumber primer dari perkembangan peradaban yang melahirkan kebudayaan tersebut.
Masayarakat yang ada di sekitar aliran sungai sudah sepatutnya menjadi garda terdepan terhadap pelestarian. Budaya akan pelestarian yang sudah mengakar wajib di munculkan kembali dan diajarkan pada anak cucu kita. Kebutuhan ekonomi bukan menjadi alasan melakukan perusakan terhadap sungai. Perlu adanya edukasi yang baik, terutama bagi semua masyarakat yang menggantungkan hidupnya melalui sungai. Budaya sungai jangan biarkan menguap di daratan, aliran budaya ini harus tetap ada hingga akhir jaman. Karena sampai kapanpun sungai adalah sumber kehidupan, jadi jagalah ia agar tetap lestari. Jangan lakukan pencemaran, jangan lakukan eksploitasi sumber daya hayati dan non hayati nya secara berlebih. Mari kita jaga sungai kita karena menjaga sungai berarti menjaga warisan budaya nenek moyang yang sangat berharga. Mari kita biarkan budaya ini tetap mengalir dan jangan hentikan aliran nya hanya karena kebutuhan ekonomi. Sungai sumber kehidupan, sumber peradaban, sumber kebudayaan. Pastikan sungai kita tetap lestari agar kehidupan kita, peradaban kita, dan kebudayaan kita tetap mengalir. ()