Pemprov Kalteng dan Pemko Palangka Raya Digugat Perdata Rp231 Miliar

Kuasa hukum Imam Heri Susila bersama ahli waris Dambung Djaya Angin.

BALANGANEWS, PALANGKA RAYA – Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan Pemerintah Kota Palangka Raya Digugat secara perdata untuk membayarkan ganti rugi sebesar Rp231 Miliar.

Gugatan dilakukan oleh para ahli waris Dambung Djaya Angin, yang mengklaim memiliki lahan seluas 8 hektare di Jalan S. Parman Palangka Raya.

Luasan lahan tersebut dimulai dari bawah jembatan Kahayan hingga ke tembok PLN di Jalan S Parman. Meliputi beberapa bangunan yang telah dibangun pemerintah seperti Taman Pasuk Kameloh, Tugu Soekarno seberang DPRD Kalteng dan deretan pertokoan seberang Dinas PUPR Kalteng.

Kuasa hukum ahli waris Dambung Djaya Angin, Imam Heri Susila, mengatakan gugatan perdata atas perkara perbuatan melawan hukum (PMH) yang dilakukan penguasa tersebut telah didaftarkan di Pengadilan Negeri Palangka Raya pada 24 Juli 2024.

“Sidang perdana akan dilaksanakan pada 7 Agustus 2024 nanti,” katanya saat menggelar rilis di Cafe Sakuyan, Minggu (4/8/2024) sore.

Dalam gugatan perdata yang dilayangkan terdapat sejumlah pihak yang tergugat. Seperti tergugat 1 Gubernur Provinsi Kalteng, tergugat 2 Walikota Palangka Raya, tergugat 3 BPN Provinsi Kalteng, tergugat 4 BPN Palangka Raya, dan tergugat 5 DPRD Kalteng.

Tak hanya itu, turut tergugat DPRD Kota Palangka Raya, Disperkimtan Provinsi Kalteng, Pemerintah Kecamatan Pahandut, Kelurahan Langkai, Disperindag Palangka Raya, Dinas kebudayaan provinsi kalteng, Satpol PP Kalteng, dengan atas nama pribadi Baru I Sangkai, Satpol PP Palangka Raya atas nama pribadi Tuti Sriana selaku pihak mengataskan pemilik bangunan di depan PUPR Jalan S Parman dan mantan Walikota Riban Satia.

“Gugatan kita layangkan karena sudah puluhan tahun, ahli waris tidak pernah mendapatkan uang pembebasan lahan atau ganti rugi dari pemerintah. Malah lahannya dimanfaatkan tanpa izin ke ahli waris,” ujarnya.

Ia menerangkan, Dambung Djaya Angin sudah menguasai lahan tersebut sejak 1957 dibuktikan dengan dokumen Verklaring yang dikeluarkan pada 1960 dan telah terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Negeri Palangka Raya.

Bukti selanjutnya adalah adanya makam Dambung Djaya Angin beserta istri dan anak-anaknya di lokasi tersebut, tepatnya kini yang dijadikan Tugu Soekarno.

“Jika dihitung sejak 1957 sampai sekarang, kerugian imateril dan material ahli waris diperkirakan Rp231 Miliar,” jelasnya.

Imam pun mendesak agar para tergugat dan turut tergugat bisa mengambil tindakan dengan menyelesaikan secara bijak, yakni membayar hak dari ahli waris.

“Ahli waris sudah mencoba melakukan penyelesaian dengan menghadap gubernur maupun Walikota, namun tidak pernah ada penyelesaian. Sehingga kita melakukan gugatan perdata PMH yang dilakukan penguasa,” tegasnya.

Senada, Roby Rahmat, perwakilan ahli waris dan juga cicit dari Dambung Djaya Angin, mengungkapkan jika Djaya Angin dulunya adalah kepala desa di Penda Barania dan diberi gelar oleh pemerintah Belanda saat itu yakni Dambung, atau kepala desa.

Dalam kesehariannya, Dambung Djaya Angin biasa berdagang ke kampung Pahandut menggunakan perahu yang hanya menempuh 3 jam saat itu. Suatu ketika Dambung Djaya Angin bermimpi dan membangun rumah di suatu tempat bernama Bukit Jekan yang saat ini adalah lokasi Tugu Soekarno.

Dambung Djaya Angin pun memboyong istrinya Bawi Nunyang dan anak-anaknya membangun rumah di lokasi tersebut. Namun sebelum rumah Betang selesai, pada 1935, Dambung Djaya Angin meninggal dunia.

“Pembangunan rumah kemudian dilanjutkan oleh anak sulungnya yang meninggal 15 tahun kemudian disusul Bawi Nunyang 2 tahun kemudian,” ceritanya.

Hingga akhirnya rumah Betang pun jadi, dan anak-anaknya Dambung Djaya Angin menetap di lokasi tersebut sambil menggarap lahan untuk berkebun dan berladang.

“Hingga 1957, presiden RI Soekarno datang untuk pendirian Tugu Soekarno. Rumah kami hanya berjarak beberapa meter saja dari sana dan cucu langsung dari Dambung Djaya Angin melihat prosesi tersebut,” bebernya.

Pihaknya pun sudah berulang kami mengupayakan ganti rugi kepada pemerintah, baik bertemu dengan Walikota Riban Satia saat itu namun tak kunjung ada penyelesaian.

Hingga turut bertemu dengan Gubernur Kalteng Sugianto Sabran dan memberikan hibah tanah untuk pembangunan mushola di Pasar depan PUPR.

“Gubernur saat itu meminta hibah tanah untuk mushola, kami berikan dengan harapan upaya kami bisa diselesaikan. Namun sampai saat ini ternyata tidak ada penyelesaian ganti rugi,” pungkasnya. (yud)