BALANGANEWS, PALANGKA RAYA – Istri almarhum Ade Supriadi, anggota DPRD Kalimantan Tengah (Kalteng) dari Partai Amanat Nasional (PAN) sekaligus alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), telah mengadukan dugaan penyerobotan tanah miliknya dan mendiang suaminya ke Polresta Palangka Raya.
Kasus ini menjadi perhatian publik, mengingat almarhum Ade Supriadi baru saja terpilih sebagai anggota DPRD Kalteng periode 2024-2029 sebelum wafat pada 26 April 2024. Berdasarkan laporan yang diterima, kasus ini bermula ketika D, istri almarhum, menemukan aktivitas mencurigakan di lahan yang dimaksud.
D kemudian mengonfirmasi kepada ARP, anak dari sahabat almarhum suaminya yang sebelumnya dipercaya untuk mengurus pemecahan, balik nama, dan penyerahan sertifikat tanah miliknya.
Namun, klarifikasi dari ARP tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Bahkan, belakangan diketahui bahwa tanah seluas 2.111 m² yang berlokasi di Kelurahan Menteng, Kecamatan Jekan Raya, Kota Palangka Raya, diduga telah dijual ke pihak lain. Padahal, tanah tersebut secara sah dimiliki oleh pelapor berdasarkan dokumen kepemilikan yang ada.
Penelusuran dan Dugaan Penggelapan
Setelah dilakukan penelusuran lebih dalam, ARP diduga telah menjual tanah tersebut kepada ZA dengan harga 150 juta rupiah sekitar bulan Oktober 2024. Atas kejadian ini, pelapor melaporkan ARP dengan pasal 372 jo pasal 374 KUHP tentang dugaan tindak pidana penggelapan dengan pemberatan, yang memiliki ancaman pidana hingga 5 tahun.
Pihak kepolisian juga telah menerima laporan ini dan langsung melakukan penyelidikan. Surat Perintah Penyelidikan (Sprin Lidik) telah diajukan, dan penyidik mulai mengumpulkan bukti-bukti yang berkaitan dengan kasus ini. Kasus ini sendiri ditangani oleh Aipda Dany Yanuar dari Unit Harda Satreskrim Polresta Palangka Raya.
Dalam menjalani proses hukum ini, istri almarhum didampingi oleh Muhammad Budiono, pengacara muda yang juga merupakan alumni HMI. Ia menegaskan bahwa langkah hukum ini ditempuh demi memperjuangkan hak-hak kliennya dan memastikan tidak ada pihak yang dirugikan secara sepihak.
Sejarah Kepemilikan Tanah
Kasus ini berawal saat almarhum Ade Supriadi bersama 13 orang lainnya membeli tanah kavlingan dari RN. Tanah tersebut memiliki luas 9.845 m² dengan status sertifikat hak milik (SHM). Setelah pembayaran lunas, para pemilik kavling merawat tanah masing-masing meskipun belum dipecah dan dibalik nama secara resmi di kantor pertanahan. Sertifikat ini disimpan dengan baik oleh almarhum Ade Supriadi hingga tahun 2017.
Pasca wafatnya RN pada 1 September 2017, pemilik kavling mulai mengurus pemecahan dan balik nama tanah tersebut menjadi 16 kavling. Proses ini sempat mengalami kendala, tetapi pada tahun 2021, tanah berhasil dipecah menjadi 4 SHM. BPN Palangka Raya mengarahkan agar tanah tersebut dibalik nama ke ahli waris sebelum akhirnya dipecah lebih lanjut menjadi 16 kavling.
Selama hidupnya, Ade Supriadi mempercayakan sertifikat tanah kepada ARP untuk mengurus pemecahan dan balik nama. ARP dipilih karena sebelumnya sudah membantu almarhum dalam proses pembelian tanah, sehingga dianggap memahami prosedurnya.
Indikasi Penjualan Sepihak
Pada Oktober 2024, istri almarhum mengetahui adanya aktivitas di lokasi tanah saat ia baru saja pulang dari mengurus akta kematian suaminya di Dukcapil. Tanah tersebut dalam keadaan bersih tanpa sepengetahuannya. Ia pun menyampaikan temuannya ke grup WhatsApp dan mencari klarifikasi dari ARP.
Namun, ARP selalu menghindari pertemuan dengan berbagai alasan, termasuk mengaku sedang berada di luar kota. Pelapor bersama pemilik kavling lainnya terus mendesak keterangan dari ARP. Dalam upaya mendapatkan jawaban, pelapor menjebak ARP dengan memberikan imbalan 2,5 juta rupiah sebagai biaya pengurusan balik nama. Pertemuan akhirnya terjadi di Gedung Asrama Haji Jalan G Obos, Palangka Raya. Dalam pertemuan itu, ARP tetap bersikukuh bahwa proses pemecahan dan balik nama masih berlangsung di BPN Palangka Raya.
Sementara itu, pelapor mencari informasi lebih lanjut melalui teman ARP, yaitu S, yang tidak mengetahui bahwa tanah tersebut sebenarnya bukan milik ARP. S sempat berjanji akan mengembalikan sertifikat dalam waktu 3 hari, tetapi akhirnya tidak menepati janji tersebut. Sebagai gantinya, S mengirimkan pesan WhatsApp berisi perjanjian antara ARP dan ZA, serta rekaman video pengakuan ARP bahwa ia telah menjual tanah kepada ZA, dan berjanji akan mengembalikan uang hasil penjualan tersebut secara mencicil kepada ZA hingga Desember 2024.
Pada Oktober 2024, atas permintaan ZA, pelapor diundang bertemu di sebuah kafe di Jalan RTA Milono, Palangka Raya, untuk membicarakan permasalahan ini. Dalam pertemuan tersebut, ZA meminta bantuan pelapor untuk mengambil kembali uangnya dari ARP, dengan imbalan sertifikat tanah yang saat itu masih disimpan di kantor notaris.
Kasus ini masih dalam tahap penyelidikan oleh pihak kepolisian. Pihak pelapor berharap agar kasus ini segera menemukan titik terang dan hak-haknya dapat dipulihkan sesuai hukum yang berlaku. (TIM/AKH)