Larangan Minuman Tradisional Bisa Mematikan Kearifan Lokal

Duwel Rawing

BALANGANEWS, PALANGKA RAYA – DPRD Provinsi Kalimantan Tengah menilai, Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol, khususnya dalam pasal 7 ayat (2) b, perlu pengecualian.

Hal ini disebabkan pasal yang memuat minuman tradisional sebagai salah satu yang dilarang tersebut, dianggap merugikan masyarakat adat, khususnya di Bumi Tambun Bungai.

Menurut Ketua Komisi III DPRD Provinsi Kalteng, yang membidangi Kesejahteraan Rakyat (Kesra), Duwel Rawing, minuman tradisional suku Dayak merupakan salah satu kearifan lokal yang sudah ada sejak nenek moyang.

Bahkan minuman tradisional tersebut, masih digunakan baik dalam acara adat maupun ritual tertentu. Sehingga RUU larangan minuman beralkohol tersebut khususnya pada poin minuman tradisonal, perlu pengecualian dan pengkajian lebih jauh.

“Di Kalteng, minuman tradisional digunakan dalam acara adat dan ritual tertentu. Jadi perlu ada pengecualian dan pengkajian lebih dalam, sebelum RUU larangan minuman beralkohol terutama di poin yang juga mencantumkan minuman tradisional tersebut dibahas lebih jauh,” kata Duwel, saat dibincangi wartawan, di gedung dewan, Senin (16/11/2020).

Wakil rakyat dari Daerah Pemilihan (Dapil) I, meliputi Kabupaten Katingan, Gunung Mas (Gumas) dan Kota Palangka Raya ini juga mengatakan, pengecualian untuk minuman tradisional perlu dipertimbangkan. Dalam arti konsumsi minuman tersebut dibatasi hanya untuk kegiatan adat atau ritual tertentu.

“Sebenarnya tidak perlu dilarang, tetapi cukup dibatasi saja untuk kegiatan tertentu yang bersifat adat dan ritual. Karena bila dilarang sepenuhnya, hal inilah yang akan menyulitkan masyarakat adat,” tegasnya.

Selain itu, sambung politisi PDI Perjuangan ini, minuman tradisional juga mampu memberikan kontribusi dalam menggali potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui sumber pajak. Bahkan sejumlah daerah di Indonesia, telah menerapkan sejumlah Peraturan Daerah (Perda) yang melegalkan minuman tradisional yang diperjualbelikan bagi wisatawan.

“Dengan menjadikan minuman tradisional sebagai oleh-oleh bagi wisatawan, tentu hal tersebut akan memberikan dampak positif, dalam menggali sektor PAD melalui sumber pajak kuliner. Apabila minuman tradisional juga turut dilarang sepenuhnya, tentunya hal ini tidak bisa dilakukan dan mematikan kearifan lokal dari suatu daerah,” ungkap mantan Bupati Katingan dua periode ini mengakhiri. (ega)