BALANGANEWS, PALANGKA RAYA – DPW Partai Amanat Nasional (PAN) Kalimantan Tengah (Kalteng) meluruskan fakta mengenai informasi bahwa Menteri Koordinator Bidang Pangan (Menko Pangan), Zulkifli Hasan atau Zulhas yang saat itu Menteri Kehutanan melakukan kebijakan pelepasan kawasan hutan.
Wakil Ketua DPW PAN Kalteng, Iwang Mujiono, menegaskan bahwa kebijakan yang disebut-sebut sebagai pemberian izin perusahaan itu sebenarnya bertujuan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, bukan untuk kepentingan korporasi.

Hal tersebut menanggapi beredarnya informasi publik terkait SK Kementerian Kehutanan Nomor 673 dan 878/Menhut-II/2014 dan juga soal Hutan dan Fitnah Banjir di daerah Sumatera hingga Aceh.
Iwang menegaskan bahwa narasi yang berkembang di publik telah banyak bergeser dari fakta utamanya.
Dia menyebut bahwa kebijakan era Menteri Kehutanan Zulhas saat itu, justru membuka ruang penyelesaian konflik agraria dan memberi perlindungan hukum bagi warga yang tinggal di wilayah yang sebelumnya berstatus kawasan hutan.
“Faktanya, SK 673 dan 878 bukan izin baru untuk perusahaan sawit atau tambang. SK itu mengatur revisi tata ruang agar masyarakat yang sudah lama tinggal atau menggarap lahan tidak lagi dianggap ilegal,” ujar Iwang Mujiono, Jumat (5/12/2025).
Dalam dokumen tersebut, pemerintah melakukan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), khususnya Riau, berdasarkan usulan dari gubernur, bupati, wali kota, hingga masyarakat.
Revisi itu menyasar kawasan yang secara de facto telah menjadi permukiman, fasilitas umum, hingga lahan garapan masyarakat.
Iwang menjelaskan bahwa pelepasan kawasan hutan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan kondisi lapangan yang telah berubah sejak lama. Banyak desa, pemukiman, jalan, sekolah, dan kebun warga yang secara administratif masih tercatat sebagai kawasan hutan, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Tujuannya jelas, yakni memberikan kepastian bagi warga agar mereka tidak terus-menerus hidup dalam status ‘ilegal’ di tanah mereka sendiri. Ini bentuk keberpihakan negara supaya masyarakat tidak dirugikan,” tegasnya.
Ia juga menepis tudingan bahwa kebijakan tersebut memberikan keuntungan bagi perusahaan tertentu. Menurutnya, proses revisi tata ruang dilakukan melalui mekanisme resmi dan panjang, melibatkan pemerintah daerah hingga masukan masyarakat.
“Zulhas tidak pernah menerbitkan izin baru untuk perusahaan dalam SK tersebut. Yang dilakukan adalah menata ulang tata ruang supaya selaras dengan perkembangan wilayah dan kebutuhan warga,” tambah Iwang.
Dengan penegasan tersebut, Iwang berharap publik dapat melihat secara objektif bahwa kebijakan tersebut merupakan upaya melindungi masyarakat dari potensi konflik agraria berkepanjangan, sekaligus mengakomodasi pembangunan daerah yang memang sudah berjalan.
“Ini bukan soal politik, tapi soal bagaimana negara hadir memberikan kepastian hukum untuk rakyatnya,” tutupnya. (asp)










