BALANGANEWS, PALANGKA RAYA – Masyarakat Desa Sandul, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Seruyan menuntut realisasi plasma dari Perusahaan Besar Swasta (PBS) perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di wilayah itu.
Hal ini disampaikan masyarakat setempat kepada Anggota DPRD Kalimantan Tengah (Kalteng) dari Daerah Pemilihan (Dapil) II meliputi Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) dan Seruyan H. Sudarsono, saat melaksanakan reses perorangan ke Kecamatan Batu Ampar, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, tuntutan masyarakat di Kecamatan Batu Ampar terkait plasma merupakan kewajiban PBS yang wajib direalisasikan dan harus mendapat perhatian dari pemerintah. Karena hal tersebut juga diatur dalam Undang-Undang (UU) nomor 14 tahun 2004 tentang perkebunan dan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
“Saat melaksanakan reses perorangan ke Desa Sandul, ada sejumlah aspirasi yang disampaikan masyarakat. Salah satunya menuntut realisasi plasma sebesar 20 persen dari PBS yang beroperasi di wilayah itu. Mengingat realisasi plasma merupakan kewajiban PBS, sehingga masyarakat berharap pemerintah bisa membantu mencari solusi,” kata Sudarsono, saat dikonfirmasi wartawan melalui pesan Whatsapp, Jumat (9/4/2021).
Anggota Komisi II DPRD Kalteng yang membidangi Ekonomi dan Sumber Daya Alam (SDA) ini juga menjelaskan, bagi PBS yang tidak merealisasikan plasma kepada masyarakat bisa dikenakan saksi administrasi. Yaitu pencabutan Hak Guna Usaha (HGU) sebagaimana tertuang dalam Permentan nomor 26 tahun 2007 poin ke 24.
“Poin penting dari Permentan tersebut yakni kewajiban bagi PBS dan Perkebunan Besar Negara (PBN) untuk membangun kebun plasma sekitar 20 persen dari total konsesi yang dimilikinya. Apabila PBS tidak melaksanakan kewajibannya terkait realisasi plasma, PBS tersebut bisa dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan HGU,” ujarnya.
Selain itu, masyarakat Desa Sandul juga menyampaikan sejumlah permasalahan lain. Khususnya antara masyarakat dan Badan Pertanahan Negara (BPN) yaitu kasus lahan masyarakat yang telah lama dikelola namun masuk dalam HGU perusahaan.
“Saat masyarakat ingin membuat sertifikat lahan, hal tersebut ditolak oleh BPN dengan alasan lahan yang ingin dibuat sertifikat masuk dalam HGU. Padahal ini lahan turun temurun dan dimanfaatkan masyarakat setempat. Sehingga muncul pertanyaan apakah dengan diterbitkannya HGU masyarakat justru kehilangan hak,” tandasnya.
Hal serupa juga dialami masyarakat Desa Kalang, dimana lahan masyarakat yang berada di luar kebun PBS dan bahkan di luar dari parit pembatas antara kebun dan lahan warga, juga tidak bisa dibuatkan sertifikat, karena ditolak BPN dengan alasan masih masuk dalam HGU.
“Berdasarkan informasi dari Kepala Desa Kalang, masalah penolakan pembuatan sertifikat lahan juga menimpa sejumlah masyarakat dengan alasan yang sama, yaitu lahan yang ingin disertifikatkan masuk dalam HGU. Padahal perusahaan sudah membuat parit bahwa tanah itu tidak termasuk ke dalam kebun PBS. Sehingga saya minta permasalahan ini mendapat perhatian dari pemerintah,” pungkasnya. (ega)
