WALHI Kalteng Soroti Soal Kebijakan Pemutihan Sawit

Paparan Hasil Temuan Lapangan oleh Janang Firman, pada Konferensi Pers dengan tema Potret Perkebunan Sawit Dalam Kawasan Hutan di Kalteng dan Pengampunan Kejahatan Lingkungan Perusahaan Besar Swasta Sawit Oleh Pemerintah, Palangka Raya, Selasa (11/9/2024).

BALANGANEWS, PALANGKA RAYA – Kebijakan Pemutihan Sawit yang disepakati oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2023 mendapat sorotan kritis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

Kebijakan yang bertujuan untuk memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit, khususnya terkait dengan deforestasi ilegal dan pelanggaran lingkungan, dinilai masih menghadapi sejumlah tantangan dalam implementasinya.

WALHI Kalimantan Tengah (Kalteng) menemukan sejumlah pelanggaran setelah melakukan pemantauan di lima perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Seruyan. Perusahaan-perusahaan tersebut adalah PT HMBP I, PT HMBP II, PT MAS, PT MAP, dan PT AB.

Dari hasil pemantauan tersebut, WALHI mengungkapkan bahwa kelima perusahaan tersebut diduga melakukan aktivitas pembangunan perkebunan di kawasan hutan tanpa Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH) dengan total area mencapai 51.037 hektar.

Selain itu, WALHI juga menemukan adanya penanaman kelapa sawit di kawasan ekosistem gambut seluas 43.228 hektar, termasuk di kawasan fungsi lindung seluas 17.116 hektar.

Aktivitas ini, menurut WALHI, tidak hanya melanggar peraturan terkait ekosistem gambut, tetapi juga menunjukkan lemahnya komitmen perusahaan dalam melindungi lingkungan.

“Keempat perusahaan tersebut juga tidak menjalankan kewajiban perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut sebagaimana diamanatkan oleh izin lingkungan dan regulasi terkait,” kata Direktur WALHI Kalteng, Bayu Herinata, Senin (16/9/2024).

Selain itu, Bayu menambahkan, perusahaan-perusahaan tersebut tercatat mengalami kebakaran hutan dan lahan yang berulang, baik di dalam maupun di sekitar areal konsesi mereka. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak berkomitmen dalam pencegahan dan penanganan kebakaran hutan, yang pada akhirnya memperparah kerusakan lingkungan.

Tidak hanya masalah lingkungan, WALHI juga menemukan bahwa lima perusahaan ini terlibat dalam konflik agraria berkepanjangan dengan warga sekitar konsesi. Konflik yang melibatkan warga desa ini belum menemukan titik penyelesaian, bahkan telah memicu pelanggaran hak asasi manusia, seperti kekerasan fisik, kriminalisasi, hingga penghilangan nyawa.

Menanggapi temuan itu, Bayu mendesak agar proses pemutihan sawit dilakukan secara transparan dan partisipatif, serta disertai audit perizinan yang menyeluruh.

“Pemberian pengampunan dan pemutihan seharusnya didahului dengan evaluasi komitmen perusahaan terhadap pemenuhan aturan dan pemulihan lingkungan. Jangan sampai perusahaan yang melanggar administratif dan merusak lingkungan mendapatkan pemutihan tanpa sanksi yang tegas,” kata Bayu.

Senada, Manajer Advokasi WALHI Kalteng, Janang Firman P, juga menekankan pentingnya moratorium perizinan bagi perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan.

“Moratorium perlu segera dilakukan oleh KLHK, bekerja sama dengan pemerintah daerah, untuk melakukan audit kepatuhan serta penjatuhan sanksi sebelum memberikan legalitas kepada perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran,” ujarnya.

Dengan adanya kebijakan pemutihan ini, WALHI berharap pemerintah dapat memastikan bahwa kebijakan tersebut benar-benar membawa manfaat bagi perbaikan tata kelola sawit dan pemulihan lingkungan di Indonesia. (asp)