BALANGANEWS, PALANGKA RAYA – Sengketa lahan kebun sawit antara Alpin Laurence dan Hok Kim alias Acen terus bergulir. Puncaknya sumpah adat dilakukan keduanya untuk membuktikan siapa pemilik sebenarnya dari kebun yang terletak di Desa Pelantaran Km 8, Kecamatan Cempaga Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur, Minggu (30/10/2022).
Disaksikan langsung Ketua DAD Kotim, Untung dan puluhan personel Batamad, prosesi sumpah adat Dayak menjadi jalan terakhir setelah Hok Kim tidak menggubris hasil sidang Basara Hai yang digelar Kerapatan Mantir Cempaga Hulu beberapa waktu lalu.
Dari sidang adat yang dipimpin Damang Duwin itu diputuskan jika lahan seluas 600 hektar merupakan milik dari Alpin Laurence bersama dua rekannya yakni Yansen dan Sujatmiko.
Alpin mengatakan sumpah adat dilakukan karena pihaknya menunjung tinggi adat Dayak di Kalimantan Tengah. Ia pun mengetahui konsekuensi akan ditanggung akibat dari sumpah itu sendiri.
“Saya berani sumpah adat karena saya adalah pemilik dari kebun ini. Sertifikat atas nama saya bersama dua rekan,” katanya usai pelaksanaan sumpah adat.
Ia menyebutkan selama ini yang melakukan pembelian lahan adalah dirinya bersama Yansen dan Sujatmiko. Hok Kim sendiri dipercaya sebagai pengelola di kebun.
“Saya percayakan pengelolaan ke Hok Kim karena dia adalah sepupu saya. Kemudian karena saya juga tinggal di Jawa,” tuturnya.
Sedangkan Muhammad Hendro, mantan manajer kebun, menuturkan jika selama ini dirinya hanya mengetahui jika bos dari kebun tersebut adalah Alpin, Yansen dan Sujatmiko. Hal ini diiringi fakta saat pembahasan gaji waktu dulu dengan mendatangi ketiganya di Medan, Sumatera Utara.
“Saya dulu waktu pembahasan gaji sama ketiga bos ini. Acen dan istrinya hanya pengelola, karena penyaluran gaji melalui istri Acen. Saya bekerja sejak pembukaan lahan dulu sekitar tahun 2008,” ujarnya.
Terkait Hok Kim, lanjutnya, hanya sebatas mengantar dirinya dan temannya untuk membuka lahan.
“Mengantar saya pun itu berdasarkan arahan dari pak Alpin. Jadi Hok Kim bukan pemilik lahan ini,” terangnya.
Sementara Ketua DAD Kabupaten Kotim, Untung, mengatakan jika sumpah adat merupakan jalan terakhir dalam permasalahan ini dan disepakati oleh kedua belah pihak.
Sebelumnya sengketa lahan ini sudah diselesaikan oleh lembaga adat di Kecamatan Cempaga Hulu, kemudian dari penyelesaian yang dipimpin Wahendri, ditolak oleh Alpin karena dianggap berpihak kepada Hok Kim alias Acen.
Dengan keberatan itu maka DAD Kotim melakukan supervisi terhadap putusan yang diterbitkan. Ternyata dari keputusan itu hakim adat tidak memenuhi syarat. Hakim adat yang memimpin persidangan ketua kerapatan mantir adalah damang, sedangkan Wahendri bukan damang, melakukan koordinator mantir.
“Karena temuan itu maka keputusan yang diterbitkan pada sidang adat sebelumnya cacat hukum sesuai hukum adat,” katanya.
Hasil supervisi kemudian diteruskan kepada damang Cempaga Hulu, Duwin, yang segera membentuk mantir Basara Hai untuk mengadili. Hasil dari sidang adat diputuskan bahwa Alpin Laurence yang memiliki lahan ini.
“Karena Hok Kim tidak menerima putusan sidang adat maka dilakukan sumpah adat ini. Sebenarnya putusan ini sudah final dan mengikat,” terangnya.
Mudah-mudahan, lanjutnya melalui sumpah adat ini akan memperjelas pemilik lahan. Baginya sumpah adat sangat dihindari bagi masyarakat adat karena akan merugikan hidup seluruh keluarga.
“Sesuai kesepakatan dari kedua belah pihak maka lahan saat ini dipegang oleh penegak hukum, tidak ada yang boleh beraktivitas sampai keluar putusan dari pengadilan yang kini tengah berlangsung,” ungkapnya.
Untung menambahkan, jikanya nanti sumpah adat tersebut nyata terjadi maka kebun ini akan diambil alih oleh DAD Kotim dan diserahkan kepada pemilik sebenarnya. Karena saat ini hukum tertinggi yang dipakai oleh kedua belah pihak adalah hukum adat.
“Kemudian jika putusan pengadilan sudah keluar maka DAD Kotim akan menyerahkan kepada pemiliknya sesuai dengan keputusan pengadilan. Kami tunduk dan patuh terhadap putusan pengadilan,” pungkasnya. (yud)