Cerpen: Preman dan Corona

Ilustrasi (Sumber: IDN Times)

Pagi yang membuat beku tersebab bekas malam yang dihadiri hujan deras membuat semua orang nampak enggan untuk melepaskan diri dari balutan hangat selimut tebalnya masing-masing. Namun, Dirga merasa jenuh. Bukan hanya satu malam, ia sudah menghabiskan berminggu-minggu untuk sekadar rebahan di atas kasurnya sehingga membuat laki-laki yang berusia 25 tahun itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal bersama pikiran yang menggumpal. Tentu ia merasa pusing karena tidak menyimpan uang sedikit pun. Ditambah lagi keadaan bumi yang belum membaik. yang mengguncang sejak awal maret lalu semakin menjadi-jadi. “Kapan ini berakhir?” gumamnya sendiri sambil sesekali menghirup kopi yang sudah dibuatkan oleh sang istri. “Jadi, gimana, Bang? Kita ga bisa hidup kayak gini terus. Ga ada Corona aja kita miskin, apalagi ada Corona,” ucap istrinya yang kemudian segera duduk di samping Dirga. Sepasang suami istri itu melukiskan wajah yang serupa, mereka sedang memikirkan sesuatu agar menemukan jalan keluar namun hingga beberapa jam duduk manis bersama tetap saja tidak ada hal yang dapat dilakukannya. “Ga enak banget rasanya. Dulu kalau mau uang tinggal malak di lokasi yang sudah diincar. Sekarang, orang-orang ga ada yang mau keluar rumah. Gimana mau dapat uang?” Dirga menghela napas beratnya. “Ya kamu cari cara lagi dong, Bang! Masak kamu mau diam di tempat! Cari lokasi lagi kek buat ngambil uang orang!” Istrinya mengemukakan pendapat yang sama sekali tak ada nilai baiknya. Namun sebelumnya itulah yang sering terjadi. Dirga hanya menghabiskan waktunya untuk merampas milik orang lain. Lebih dulu ia mengintai targetnya yang lemah lalu kemudian mengambil apa saja benda berharga dengan seribu ancaman serta senjata mainan yang ia acungkan. “Kamu pikir malak itu gampang?” Dirga pun menciptakan suara kerasnya, “tak semudah itu! aku pernah hampir mati karena dipukuli, untung saja berhasil kabur.”

Hari pun berganti dengan keadaan yang belum berubah. Corona semakin merajalela. Dirga sudah tidak tahan lagi, di sebuah gang kecil yang terlihat cukup sepi, ia sengaja duduk santai di salah satu kursi kayu. Mata tajam yang digunakan untuk mengitari keadaan sekitar membuat sosok itu terlihat menyeramkan. Walau sebenarnya hanya sengaja dibuat seram. Tak berapa lama kemudian, terlihat seorang laki-laki dengan kemeja putihnya melangkahkan kaki untuk melewati Dirga. Dengan secepat kilat, Dirga pun menghampiri calon korbannya itu. “Ett, tunggu dulu!” tahan Dirga dengan sengaja. “Ampun, Bang, di sana saya sudah dipalak preman sebanyak dua kali. Masak di sini mau dipalak lagi, sih, tiga kali sehari dong saya dipalak? Kayak minum obat aja,” mohon laki-laki itu dengan wajah polosnya yang terlukis. “Lho, lu tau gue mau malak?” Dirga mengernyit heran. “Tau, Bang, soalnya berantakan, muka kucel, baju bau apek terus tiba-tiba nyamperin dengan wajah yang dibuat-buat garang itu adalah ciri-ciri preman yang belum pensiun, Bang.” “Jadi? Maksud lu rambut kece gue ini jelek? Muka gue kucel? Terus gue bau apek?” Dirga pun membuka matanya lebih lebar. “Belum juga gue malakin lu! lu malah bikin hati gue sakit? Keterlaluan lu!” Dirga pun menutupi wajahnya agar tangisnya tidak pecah, “tega banget lu!” kembali suara sedih Dirga terdengar. “Maaf, Bang. Bukannya saya bermaksud nyakitin Abang, tapi, Bang…” “Diam lu!” potong Dirga dengan segera, “gue ingetin muka lu! mulai detik ini gue ga mau malakin lu lagi! Gue kecewa sama lu!” ucap Dirga dengan nada kesal lalu segera pergi meninggalkan laki-laki yang gagal menjadi korbannya.

Ketika sore berproses untuk menjadi jingga yang sempurna, Dirga masih bersama pikiran tak benarnya itu. Ia kembali menahan langkah seorang wanita paruh baya yang sedang meneteskan air mata. “Et, tunggu dulu!” tahan Dirga. Sebelum melanjutkan bicaranya, Dirga mencium aroma tubuhnya sendiri, berharap tidak diperlakukan buruk seperti laki-laki yang hendak ia jadikan korban sebelumnya. “Mau apa, Pak?” wanita itu membuka maskernya agar dapat berbicara dengan Dirga secara leluasa. “Pak?” Dirga menunjuk ke dirinya sendiri, “Pak? Gue masih muda! Panggil Dirga aja!” pintanya dengan nada kesal yang kembali tercipta. “Ada apa, ya, Dirga?” kembali wanita itu bersuara. “Ini adalah wilayah kekuasaan gue. Siapapun yang melintas di sini harus bayar! Duit, duit!” Dirga pun membuka telapak tangannya. “Kamu minta duit?” pertanyaan dari wanita itu pun membuat Dirga semakin geregetan. “Ya iyalah! Duit! Masih untung gue cuma minta duit, ga minta beras, kopi, gula, minyak, sembilan ! Sini duit!” Dirga berniat jika wanita itu belum juga memberikan apa yang ia inginkan, ia akan membuat si wanita ketakutan dengan senjata mainannya. “Ini,” wanita itu menyodorkan uang senilai lima ribu rupiah kepada Dirga. Perlahan, Dirga menatap wanita itu lalu tawanya pun pecah seketika, “Ahahaha, lu bercanda? Lima ribu cukup buat beli gulali doang! Tambahin lagi.” Belum lagi wanita itu membuka isi tasnya, Dirga pun menarik tas itu untuk mengambil seluruh barang berharga yang ada di dalamnya. Hingga pada akhirnya, sepucuk amplop putih terjatuh membuat Dirga segera memungutnya lalu membuka isinya. Pada awalnya biasa saja, namun setelah Dirga mengetahui isi amplop tersebut, Dirga menciptakan sorot mata yang sedikit berkaca-kaca. Ternyata itu adalah surat keterangan bahwa si wanita positif terkena 19. “Huuhuuuuuuuhuuu,” wanita itu pun menangis dengan isak yang sesak, “huhuuuuuuhuuuu.” Dirga kembali menatap wanita itu. Ia iba melihat sang wanita yang ada di hadapannya kala itu ternyata sedang mengalami permasalahan besar. “Kenapa seperti ini, sudah sedih terkena sekarang harus dipalak preman, huhuhuuuuu.” Tangis itu pun semakin menjadi-jadi sehingga membuat Dirga membatalkan niat busuknya. “Maaf, ampun, Bu. Maafkan saya.” Dirga menunduk pelan dan membiarkan wanita itu melangkah pergi meninggalkannya.

Dengan tangan kosong, tatapan kosong, pikiran kosong sampai perut pun ikut kosong, Dirga kembali ke rumahnya. Dua orang sudah gagal menjadi korbannya hari itu. Hingga dua minggu kemudian, ketika suatu pagi Dirga terbangun, ia merasa dadanya sangat sesak disertai dengan tubuh yang menggigil hebat. Ia pun berteriak semampunya untuk memanggil sang istri. “Ada apa, Bang? Ganggu aja orang lagi nonton.” Istrinya pun datang dan mendekati Dirga yang semakin kesakitan, “Kenapa, Bang? Sakit?” ketika melihat keadaan sang suami, istrinya pun mengubah nada bicaranya secara perlahan. “Iya, aku menggigil dan dadaku rasanya sesak,” ucap Dirga sambil memeluk lutut untuk menghangatkan tubuhnya sendiri. “Bahaya!” mata sang istri pun terbuka lebar, “jangan-jangan kamu terkena , Bang?” Dirga pun ikut membuka matanya lebih lebar. Ia teringat akan pertemuannya bersama si wanita yang positif Covid 19. “Ya, aku ingat. Aku ingat waktu itu aku ingin memalak seorang wanita, wanita itu terkena virus lalu aku gagal mengambil barang-barangnya.” Dirga semakin ketakutan dengan tubuh gemetarnya, “Apa aku akan mati oleh Corona ini? Tidak! Aku tidak mau!” Dirga semakin ketakutan dan ia pun menangis seperti anak kecil yang baru saja kehilangan mainan kesayangan. Belum pernah dalam hidup Dirga merasa khawatir, cemas dan gelisah seperti itu. Ia menyesal atas perbuatan jahat yang pernah dilakukannya kepada orang-orang lemah. Setelah menerima sakit, ia berniat untuk memperbaiki kehidupannya agar jalan kebahagiaan yang terang mampu untuk digapai. Usai melakukan pemeriksaan di rumah sakit, Dirga telah pasrah akan hidupnya. Ia berharap sakit itu dapat menjadi penggugur dosanya. Namun, setelah menerima hasil pemeriksaan, perlahan lekuk bibirnya tercipta tipis. Ia sangat bersyukur karena tidak tertular virus apapun dan dari manapun. Belakangan ini ternyata ia hanya mengalami demam biasa. Sepulang dari rumah sakit, Dirga meninggalkan sepucuk surat untuk seorang wanita positif yang nyaris ia jadikan korban sebelumnya, “semoga lekas sembuh, anda wanita kuat, maafkan saya.” Sang wanita itu membaca tulisan dari Dirga. Ia pun juga tersenyum sembari berkata, “Lebih baik menjadi baik, akhirnya preman ini pensiun.”