GAPKI Dukung Pemerintah Lakukan Perbaikan Tata Kelola Industri Sawit

Sekretaris Jenderal GAPKI Pusat, Muhammad Adi Sugeng

, PALANGKA RAYA – Gabungan Pengusaha Indonesia () melakukan diskusi mengenai Prospek Kelapa Sawit Pasca Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), di Ballrom Swiss-belhotel Danum, Palangka Raya, Senin (5/2/2024).

Sekretaris Jenderal GAPKI Pusat, Muhammad Adi Sugeng menyebutkan, secara industri kelapa sawit mengalami beberapa persoalan yang harus dicari solusinya secara bijak, dan regulatif.

Pertama, katanya, produktivitas kepala sawit dalam kurun lima tahun terakhir datar, atau staknan, bahkan cenderung menurun. Secara data kata Adi, konsumsi minyak sawit dalam negeri tiap tahun mengalami peningkatan.

Selanjutnya, tuntutan Fasilitasi Kebun Masyarakat (FPKM) sebesar 20 persen. GAPKI sebagai wadah asosiasi pengusaha sawit sambung Adi, selalu mengajak anggotanya agar mematuhi regulasi pemerintah.

“Implementasi FPKM 20 persen diperlukan kolaborasi dan sinergi semua pihak, dengan acuan regulasi perundang-undangan, sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak logik,” ucapnya.

Kemudian tambah Adi Sugeng, kebun sawit terindikasi yang masuk kawasan hutan. Kendati, ia menegaskan, GAPKI sangat mendukung keinginan pemerintah untuk melakukan perbaikan.

“GAPKI sangat mendukung keinginan pemerintah untuk melakukan perbaikan tata kelola industri kelapa sawit melalui Undang-Undang Cipta Kerja yang menjadi Undang-Undang Nomor Tahun 2023,” imbuhnya.

Sementara itu, Pakar Kehutanan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Jakarta, Dr. Sadino yang turut hadir sebagai narasumber pada diskusi itu menyampaikan, lahirnya UUCK dimaksudkan untuk mempercepat penyelesaian permasalahan perkebunan kelapa sawit.

Ia menuturkan, legalitas dari sisi lahan biaya sangat mahal. “Makanya tadi saya katakan, Undang-Undang Cipta Kerja itu implementasinya kebalikan filosofi dari Undang-Undang Cipat Kerja itu sendiri,” ujarnya.

Sadino mencontohkan, misalnya perusahaan ingin membangun sebagai kemitraan yang diusulkan oleh masyarakat sekitar. Hal ini katanya, merupakan beban biaya bagi perusahaan.

“Misalnya 110B beban biayanya lebih dari 100 juta, dan 110B statusnya tidak bisa dilepaskan kepada masyarakat. Nanti hanya penggunaan kawasan. Penggunaan kawasan hanya satu daur, dan nanti dikembalikan, masyarakatkan ga mau itu,” jelasnya. (asp)