BALANGANEWS, PULANG PISAU – Proses mediasi antara sekelompok warga yang mengaku buruh nelayan dan pemilik tatah di areal perkebunan sawit milik PT Best Agro di Sei Hambawang, Kecamatan Sebangau Kuala, Kabupaten Pulang Pisau, dengan pihak perusahaan menemui jalan buntu.
Mediasi warga dengan pihak perusahaan ini difasilitasi oleh Pemkab Pulang Pisau di kantor pemkab setempat pada Rabu (4/11/2020) dengan menghadirkan kedua belah pihak.
Dari pihak warga diwakili sedikitnya 20 orang yang dikoordinatori kuasa hukumnya Junaidi L Gaol, yang mengaku utusan dari Koordinator Daerah Kalimantan Tengah Federasi Hukatan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (HUKATAN-KSBSI).
Menanggapi tuntutan tersebut, Legal Manager PT Best Agro Wilayah Kalteng Kutut Wibowo membantah jika pihak perusahaan tidak pernah memberikan ganti rugi lahan kepada masyarakat. Menurutnya proses ganti rugi bahkan sudah selesai dilakukan.
Dikatakan Kutut, proses ganti rugi lahan milik masyarakat ini sudah diselesaikan dengan melibatkan pemerintah daerah dari yang terbawah yakni pemerintah desa, dan selama ini prosesnya berjalan lancar.
“Harusnya penyelesaian yang sudah kami lakukan ini menjadi rule model bagi perusahaan lain dalam penyelesaian sengketa lahan dengan masyarakat,” ungkapnya.
Kendati demikian, Kutut mempersilakan jika memang ada sekelompok warga yang mengaku memiliki tatah di areal perkebunan sawit PT Best Agro untuk melakukan gugatan secara perdata.
“Legalitas kepemilikan itu kan harus ada bukti, dan bukti ini perlu diuji oleh pihak berkompeten, sedangkan Pemkab Pulang Pisau maupun perusahaan tidak punya kewenangan untuk memeriksa legalitas tersebut, jadi silakan saja kalau mau digugat secara perdata ke pengadilan,” tegas Kutut.
Ditambahkannya, dengan menyerahkan perkara ini ke pengadilan maka akan diketahui kebenaran datanya. “Begitulah etikanya jika kita bersengketa, jika dalam proses mediasi tidak menemukan titik terang, maka upaya hukum solusinya,” ujarnya.
Dia juga menampik jika disebut pihak perusahaan melakukan pencaplokan lahan milik masyarakat tanpa mengganti rugi. Sebab menurutnya, proses inventarisasi lahan kepemilikan melibatkan masyarakat sendiri, pemerintah desa, kecamatan, dan pemerintah daerah.
“Kami hanya memfasilitasi ganti rugi lahan milik masyarakat sesuai data yang kami terima dari masyarakat sendiri, kemudian usulan masyarakat ini dibawa ke pemerintah desa dan seterusnya hingga ke pemerintah kabupaten. Setelah itu Pemkab memberikan rekomendasi kepada perusahaan bahwa ini lho lahan masyarakat yang layak mendapat ganti rugi, diluar itu perusahaan tidak dapat memrosesnya,” ungkapnya. (nor)