Cerpen: KKN di Desa Cemara

Ilustrasi (Sumber: Kaskus.co.id)

Andi tidak terima jika ia ditetapkan sebagai mahasiswa KKN di lokasi yang paling dihindarinya. Desa Cemara adalah tempat tinggal kakek dan neneknya sebelum keduanya meninggal dua tahun yang lalu. Banyak alasan yang dikemukakan Andi agar ia bisa berpindah lokasi untuk menjalankan program kampus itu.

Namun, semua penuturan yang dikeluarkannya tak kunjung membuat pihak kampus berbesar hati untuk mengikuti keinginannya. Dengan sangat terpaksa, Andi pun harus berlapang dada menerima kenyataan itu.

“Kenapa sih, Ndi? Kok kamu ga mau kita KKN di desa itu?” tanya Dani, teman satu kelompok KKN-nya.

Andi menatap Dani beberapa saat, ia enggan untuk menceritakan apa yang ia ketahui, juga merasa khawatir jika lima temannya menjadi takut jika mengetahui cerita mengenai desa tersebut.

Setelah satu hari penuh dalam perjalanan menuju Desa Cemara, akhirnya Andi dan kawan-kawan sampai di lokasi tujuan. Sepi, sunyi, hanya ada kicauan burung yang mengiringi saat mereka melangkah masuk ke desa itu. “Sekarang aku paham, desa ini diberi nama Desa Cemara karena banyak pohon cemara di sini,” ucap Dani, sang ketua kelompok.

Dani pun memulai langkahnya, cukup jauh perjalanan yang kembali mereka tempuh untuk memasuki desa lebih dalam. Hingga setengah jam kemudian, keenam anak muda itu tiba di sebuah rumah rotan yang sangat sederhana. Dani pun mendekati pintu rumah tersebut dan mengetuk pintu beberapa kali.

“Permisi,” kembali Dani mengetuk pintu dan mengulangi salamnya.

Kemudian, seorang pria paruh baya membukakan pintu. “Kalian yang ditugaskan untuk menjalankan program KKN di desa ini atau bukan?” tanya pria itu dengan sedikit keraguan yang terlukis di wajahnya. Tergambar juga perasaan cemas dan takut di matanya.

“Iya, Pak. Kami yang akan menjalankan KKN selama satu bulan di desa ini. Tapi, mengapa Bapak terlihat takut seperti itu?” lontar Dani.

“Tidak apa-apa,” tepis pria itu dan mencoba menghapus kegelisahannya.

“Mmm, sebelumnya perkenalkan, Pak. Nama saya Dani ketua kelompok KKN dan ini Andi wakil saya, ini Rara, yang itu Tono, yang di sebelah kiri Tono namanya Nayla dan kanannya Indah,” Dani memperkenalkan temannya satu per-satu.

“Nama saya Pak Iwan, sebelumnya saya minta maaf karena saya tidak bisa mengantarkan kalian ke rumah yang akan kalian tempati nanti. Ini kuncinya,” pria yang bermana Pak Iwan itu pun memberikan kunci rumah kepada Rara.

“Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih sudah diterima di desa ini,” jawab Dani.

“Tapi…” Pak Iwan pun memutus ucapannya sambil melukiskan wajah yang kembali cemas.

“Tapi apa, Pak?” tanya Dani penasaran.

“Kalian semua harus ingat dengan pesan saya, kurang lebih sekitar 200 meter dari halaman belakang rumah yang akan kalian tempati nanti adalah lokasi pemakaman. Jangan pernah masuk ke area itu, setiap malam sebelum pukul tujuh kalian sudah harus berada di rumah dan jangan melakukan kegiatan apapun lagi, jika kalian mendengar jeritan, suara teriakan dan semacamnya, jangan pernah buka mata kalian karena jika kalian membuka mata saat mendengar suara itu, bahayaaaaa! Dan terakhir, jangan ribut. Nanti dia terganggu,” tutup Pak Iwan.

Rara pun membuka matanya lebih lebar, gadis itu sudah merasakan hawa yang tidak mengenakkan. “Dia siapa yang Bapak maksud?” Rara pun semakin cemas.

“Kalian tidak perlu tahu, ikuti saja apa yang sudah saya katakan. Ingat, jangan membangkang jika ingin hidup kalian selamat.” Dengan segera, Pak Iwan pun menutup pintu rumahnya tanpa meninggalkan penjelasan yang lebih rinci.

“Bikin takut aja, balik yuk,” Nayla pun turut gelisah.

“Balik apaan? Kamu mau kita telat lulus karena gagal dalam melaksanakan KKN ini? Yuk, buruan, kita ke rumah itu dan mulai atur agenda,” Tono pun memulai langkahnya lebih dulu.

“Tonoooo, tunggu,” susul Indah yang kemudian mengiringi langkah Tono sehingga membuat teman-teman lainnya pun ikut melangkah.