Ekspor Zircon Ilegal Bongkar Celah Perizinan, Negara Rugi Ganda

Whatsapp Image 2025 09 21 At 12.42.10 Pm
Praktisi Pertambangan yang juga mantan Ketua Forum Kepala Teknik Tambang Kalteng, Sutrisno. (ist)

BALANGANEWS, PALANGKA RAYA – Dugaan penyalahgunaan izin ekspor komoditas tambang zircon di Kalimantan Tengah (Kalteng) membuka persoalan serius dalam tata kelola pertambangan dan perdagangan mineral.

Praktisi pertambangan, Sutrisno, yang juga mantan Ketua Forum Kepala Teknik Tambang Kalteng, menilai praktik ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi berpotensi tindak pidana.

“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi dugaan tindak pidana,” tegas Sutrisno dalam keterangannya, Minggu (21/9/2025).

Menurutnya, ekspor zircon wajib tunduk pada dua rezim hukum. Pertama, aturan pertambangan sesuai UU Minerba No. 3/2020 dan PP No. 96/2021 yang mewajibkan IUP Operasi Produksi, Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), serta setoran PNBP.

Kedua, aturan perdagangan berdasarkan UU Perdagangan No. 7/2014 dan Permendag No. 24/2018 terkait Certificate of Origin (COO).

Namun fakta di lapangan memperlihatkan adanya perusahaan pemegang IUP dan RKAB yang menampung zircon dari tambang ilegal, tetapi tetap memperoleh COO resmi.

“Meski punya RKAB sah, perusahaan yang membeli atau menampung mineral dari tambang ilegal tetap terjerat Pasal 161 UU No. 3/2020,” jelasnya.

Sutrisno menekankan, COO yang diterbitkan dengan data tidak benar otomatis cacat hukum. Padahal COO menjadi syarat agar ekspor bisa lolos dan mendapat fasilitas tarif preferensi di negara tujuan.

“Jika zircon berasal dari tambang ilegal, maka COO yang diterbitkan menjadi cacat hukum dan bisa menjerat eksportir dengan sanksi administratif hingga pidana,” tambahnya.

Lebih jauh, dampak yang ditimbulkan tidak kecil. Negara kehilangan potensi penerimaan dari PNBP dan pajak mineral sesuai UU No. 1/2022 tentang HKPD. Jika melibatkan aparat, kasus ini bahkan bisa masuk kategori tindak pidana korupsi.

“Zircon ilegal tidak menyetor PNBP dan Pajak Daerah, sementara kerugian negara makin besar,” papar Sutrisno.

Selain kerugian fiskal, praktik ini juga berpotensi merusak reputasi dagang Indonesia di mata dunia. Negara tujuan ekspor bisa mencabut fasilitas tarif preferensi hingga menjatuhkan sanksi dagang.

Sutrisno pun mengajukan rekomendasi tegas, mulai dari penguatan verifikasi COO dengan rekomendasi Dinas ESDM, integrasi sistem digital antara e-SKA Kemendag dan modul RKAB Minerba ESDM, hingga sanksi pencabutan hak ekspor serta IUP bagi pelaku.

“COO bukan sekadar dokumen formalitas. Jika perusahaan dengan RKAB sah menampung zircon dari tambang ilegal, maka COO yang diterbitkan menjadi tidak sah, dan pelaku terancam pidana pertambangan dan perdagangan,” pungkasnya. (asp)