BALANGANEWS, PALANGKA RAYA – Massa yang mengatasnamakan Koalisi Anti Kekerasan Seksual Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) menyoroti kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Universitas Palangka Raya (UPR). Pihaknya menilai kasus penanganan kasus tersebut tidak transparan.
Dimana sebelumnya, pada 5 September 2022, Polda Kalteng telah menerima laporan tindak pidana kekerasan seksual dan penganiayaan yang di alami oleh seorang mahasiswi UPR, dimana terduga pelaku adalah dosen berinisial AVG di salah satu Fakultas.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye LBH Palangka Raya, Sandi Jaya Prima Saragih Simarmata menjelaskan, pada januari 2023 kasus tersebut telah terjadi perdamaian antara korban dan terduga pelaku. Seiring berjalannya waktu, pada bulan Maret 2023 Polda Kalteng telah menerbitkan surat SP3 (Surat Penghentian Penyidikan) pada kasus tersebut.
“Menurut kami ini yang sangat janggal, yang dimana dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Pasal 23 menyebutkan, perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang,” ucapnya, Rabu (5/4/2023).
Sandi menambahkan, pihaknya juga sudah ada mengirimkan surat ke Polda Kalteng perihal permohonan Informasi tersebut pada 14 Maret 2023. Namun kata Sandi, surat tersebut tidak mendapatkan respon. Selanjutnya pihaknya mengajukan surat keberatan kepada Polda Kalteng pada 1 April 2023.
“Kami menganggap bahwa tindakan diam dari Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah atas permohonan informasi tersebut merupakan bentuk ketidak transparansian penyidik dalam menangani kasus ini. Hal ini bertentangan Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 1 Ayat (2),” ucap Sandi.
Dia menegaskan, bahwa kasus yang tindak pidana yang terjadi yang terduga pelakunya adalah seorang dosen merupakan tindak pidana yang sangat mencoreng harkat dan martabat hak asasi seseorang apalagi terjadi institusi Pendidikan Tinggi.
Selain itu, bahwa pemintaan perdamaian dalam kasus ini yang pada akhirnya diduga kuat menjadi dasar diterbitkannya SP3 dari Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah merupakan satu tindakan yang tidak mencerminkan keadilan bagi korban karena permintaan maaf tidak bisa menghapus tindak pidana seseorang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Pasal 23.
“Terakhir kami dari koalisi Anti Kekerasan Seksual Provinsi Kalimantan Tengah meminta Polda Kalimantan Tengah untuk merespon surat permohonan kami,” tandasnya. (asp)