BALANGANEWS, PALANGKA RAYA – Persidangan terkait dugaan tindak pidana keterangan palsu atau sumpah palsu yang membelit H Bachtiar Rahman alias H Imron kembali berlangsung di Pengadilan Negeri Palangka Raya, Kamis (31/8/2023). Sidang beragendakan putusan sela oleh majelis hakim.
“Iya kemarin merupakan putusan sela oleh majelis hakim sesuai dengan eksepsi atau nota keberatan yang kita ajukan sebelumnya. Setelah ini perkara akan kembali diperiksa apakah masuk dalam ranah perdata atau pidana,” ucap Kuasa hukum H Bachtiar Rahman alias H Imron, Sabri Noor Herman, Jumat (1/9/2023).
Dalam eksepsi yang diajukan pada 23 Agustus 2023, Sabri mengatakan jika terjadi dugaan kriminalisasi terhadap kliennya. Dugaan kriminalisasi sangat kuat terasa sejak tahapan penyidikan, pra penuntutan, dakwaan sampai tuntutan hukum.
Berawal perkara ditangani Polsek namun tidak bisa dilanjutkan, lalu naik ke Polres namun tidak bisa dilanjutkan juga. Terakhir di Polda Kalteng sehingga perkara bisa naik status penyidikan dan ditetapkannya tersangka.
Selain itu pada saat kliennya menjalani penahanan di Polda Kalteng, pihak keluarga dalam hal ini istri dan anaknya tidak diperbolehkan untuk menjenguk selama penahanan yakni 28 hari.
“Dari peristiwa ini nampak perkara terlalu dipaksakan naik dan terjadi penekanan terhadap H Imron. Dikarenakan perkara ini sudah sangat jelas masuk dalam domain perkara perdata, yang dimulai dengan perjanjian antara kliennya dengan saksi korban pelapor dalam hal ini PT STP,” katanya.
Sabri menegaskan jika perbuatan kliennya merupakan perbuatan perdata, dan bukan pidana. Bermula pada 14 Oktober 2019 terjadi kesepakatan sewa menyewa lahan antara H Imron dan PT STP dengan masa sewa selama 11 tahun.
Dalam pelaksanaan perjanjian sewa menyewa itu, PT STP dinilai melanggar berbagai ketentuan yang diatur dalam perjanjian. Seperti pembayaran uang sewa lahan yang diterima H Imron selama ini hanya sebesar Rp300 juta untuk pembayaran tahun pertama dan kedua.
Sedangkan pembayaran tahun ketiga sampai keenam dilakukan setelah H Imron melakukan pengurukan yang harus dilakukan 60 hari setelah akta perjanjian ditandatangani. Namun ternyata malah PT STP melakukan pengurukan sendiri tanpa koordinasi dengan H Imron.
H Imron telah memberikan opsi penawaran untuk menjual objek sewa kepada PT STP, namun tawaran tidak ditanggapi atau ditolak.
Karena tengah membutuhkan uang, H Imron lalu menjual lahan tersebut kepada pengusaha Tan Rika.
“Dalam hal ini H Imron merasa dizalimi, karena dilaporkan Pasal 266 KUHpidana tentang memberikan keterangan palsu. Padahal secara ril tidak ada yang dipalsukan. Secara hukum perdata bahkan jual beli tidak membatalkan sewa menyewa pada suatu objek,” tegasnya.
Seharusnya lanjut Sabri, jika PT STP merasa dirugikan atas dijualnya objek tanah yang disewa, maka seharusnya melakukan langkah hukum berupa gugatan perdata atas dasar wanprestasi atau ingkar janji dan menuntut ganti rugi, bukan ke ranah pidana.
“Penyidikan dari kepolisian juga kami nilai cacat hukum, karena penyidik Polda Kalteng tidak pernah memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) kepada H Imron selaku terlapor,” tutupnya. (yud)