Di sebuah desa di dekat perbukitan, hiduplah seorang pria tua yang dikenal dengan sebutan Pak Kumis. Pak Kumis memiliki tiga anak perempuan dan semuanya sudah menikah. Ketiga anaknya tinggal di kota mengikuti jejak suaminya masing-masing. Setiap sore Pak Kumis duduk sendiri di depan gubuk bambunya itu sambil mengingat saat-saat berharga ketika ketiga anaknya masih kecil. Sesekali Pak Kumis tersenyum dengan sorot mata yang berkaca-kaca, ia begitu merindukan anak-anaknya dan berharap anak-anaknya akan datang untuk menemuinya. Namun, setahun telah berlalu, dengan kondisi tubuh yang semakin lemah itu, Pak Kumis kembali menikmati senja hanya bersama kicauan sang burung yang akan kembali ke sarangnya. Anak-anak Pak Kumis masih belum kembali, bahkan mereka tidak memberikan kabar kepada Pak Kumis satu kali pun. Pak Kumis semakin kesepian, ia menangis di kesunyian atas rasa rindu yang menggumpal untuk para buah hatinya. Lalu, Pak Kumis mengirimkan surat untuk ketiga anaknya yang berisi permintaan Pak Kumis agar anak-anak, para menantu juga cucu-cucunya datang menemuinya.
Suatu pagi, ada seorang tukang pos yang mengantarkan sepucuk surat kepada Pak Kumis, dengan rasa gembira Pak Kumis bergegas menerimanya dan berharap itu adalah surat balasan dari anak-anak kesayangannya. Tapi,